Sabtu, 17 Oktober 2020

TOKOH PENYEBAR DAKWAH ISLAM DI PULAU JAWA TANAH PASUNDAN JAWA BARAT

 Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan


BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.

Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).

Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi  seperti ini sangat membingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.

Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.

Sumber-sumber Sejarah

SEBENARNYA banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.

Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.

Tokoh Cakrabuana

BERDASARKAN sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.

Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.

Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.

Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.

Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).

Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).

Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.

Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.

Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.

Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.

Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.

Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.

Tokoh Kian Santang

SEBAGAIMANA halnya dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian pedalaman.

Sampai saat ini terdapat beberapa versi mengenai tokoh sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang meragukan tentang keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber sejarah yang akurat faktual dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu pendapat semacam ini adalah sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam mengambil kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan, tulisan, maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian Santang di Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di daerah Depok Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu adalah merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi generalisir yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak ada cerita sejarah yang sebenarnya.

Sampai saat ini terdapat empat sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang menceritakan tentang sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat legendaris itu. Keempat sumber itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang diceritakan secara turun menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat mengenai perjalanan dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding kekuatan gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca kalimat Syahadat.

Di dalam cerita lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang adalah putera raja Pajajaran yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk Islam dan setelah kembali ia memakai nama Haji Lumajang. Cerita lainnya lagi mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan menyebarkan agama Islam di Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan banyak pula putra raja yang masuk Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari keraton dan tidak lagi menganut agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran, bahwa ia akhirnya pergi ke Campa sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.

Dari cerita rakyat tersebut terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian Santang sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Misalnya alur cerita tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah Pajajaran itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi dan sumber data yang lainya seperti Babad tanah Cirebon dan lainnya.

Adapun mengenai pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama tersebut bukanlah menantu Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M, melainkan seorang syekh (guru) tarekat tertentu atau pengajar tertentu di Mesjid al-Haram. Jika sulit dibuktikan kebenarannya, maka itulah suatu bumbu dari cerita rakyat; bukan berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan tidak ada buktinya dalam realitas sejarah manusia Sunda.

Sejalan dengan cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa Kian Santang sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti fisik berupa satu buah al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan, sebuah skin (pisau Arab) yang berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan Garut.

Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.

Dari seluruh cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian Santang merupakan salah seorang putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah Cirebon dan merupakan seorang penyebar agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini dapat dicocokkan dengan berita yang disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang mengatakan bahwa pada abad ke-13, kerajaan Pajajaran membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di antaranya adalah kerajaan Sindangkasih (Majalengka) yang diperintah oleh Sri Baduga Maharaja (atau Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di Pesantren Qura Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin (ulama dari Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia bertemu dengan Subang Larang, salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak dipersunting dan menjadi ibu dari Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara Santang, dan Pangeran Kian Santang.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan agama Islam pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari wilayah Cirebon (Sindangkasih; Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi raja bawahan Pajajaran, ia melarikan diri dan menyebarkan Islam di wilayah Pasundan (Priangan) dan Godog, op groundgebied. Limbangan merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di Tatar Sunda (khususnya di wilayah Priangan). Selain di Godog pada waktu itu, sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang menganut Islam sebagai hubungan langsung dnegan para pedagang Arab dan India.

Mula-mula Kian Santang mengislamkan raja-raja lokal, seperti Raja Galuh Pakuwon yang terletak di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah (1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan buyut Prabu Siliwangi. Kian Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah al-Qur;an berkukuran besar dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an la ikroha fiddin. Berkat Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon, sisi kerajaan terakhir Pajajaran.

Para petinggi dan raja-raja lokal lainnya yang secara langsung diIslamkan oleh Kian Santang di antaranya, ialah (1) Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat makam Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak oleh Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di Tasikmalaya.

Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).

Tokoh Syarif Hidayatullah

SEPERTI telah diuraikan di atas bahwa ketika selesai menunaikan ibadah haji, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh kakaknya (Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa kota Mesir dari klan al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Nurul Alim atau Ali Burul Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat Zainal Abidin (buyut Fadhilah Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu ayah dari Ali Rahmatullah atau raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal Akbar merupakan keturunan Rasulullah saw. Nurul Alim menikah dengan puteri penguasa Mesir (wali kota), karena itulah Syarif Abdullah (puteranya) menjadi penguasa (wali kota) Mesir pada masa dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan Nyi Mas Larasantang melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang lahir di Mesir.

Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta kerajaan Islam Pakungwati.

Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya menyebarkan Islam di sana.

Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon. Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda, puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad Limbangan, 1977:46).

Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah tentu, sikap ini mengundang kemarahan Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil alih kembali Cirebon. Namun penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata tidak berlangsung lama. Dikatakan bahwa Prabu Jaya Dewata mendapatkan nasihat dari para Purohita (pemimpin agama Hyang) yang menyatakan bahwa tidak pantas terjadi pertumpahan darah antara kakek dan cucunya. Lagi pula berdirinya Cirebon pada dasarnya merupakan atas jerih payah putera darah biru Pajajaran, yaitu Pengeran Cakrabuana.

Pada tanggal 13 Desember 1521 M, Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Sebagai penggantinya adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M dengan gelar Sanghyang. PangeranSurawisesa inilah yang secara resmi melakukan perjanjian kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja sama antara Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan seorang raja dari Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik dengan orang-orang Eropa.

Perjanjian kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan Demak dan Cirebon. Karena itulah pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak mengutus Fadhilah Khan (Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama menguasai Sunda Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan Pajajaran. Strategi ini diambil agar pihak Portugis tidak dapat menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama pad atahun 1527 M Portugis datang ke Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita mendirikan benteng di Muara Kali Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun pasukan Portugis dipukul mundur oleh pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah bergelar Pangeran Jayakarta.

Banyak nama yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal dari Samudera Pasai. Ia merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif Hidayatullah. Hal ini karena Faletehan selain menikah dengan Ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan Cirebon, maka Faletehan memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua keraton itu. Karena itulah, ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19 September 1568 M, maka Faletehan diangkat menjadi pengganti Syarif Hidayatullah sebagai Sultan di Cirebon. Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean), putra Syarif Hidayatullah, mengundurkan diri dari tahta kerajaan Islam Cirebon. Muhammad Arifin sendiri lebih memilih menjadi penyebar Islam di tatar Sunda bagian utara dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Pasarean.

Ketika Faletehan naik tahta di Cirebon ini, saat itu, Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu Bagus Angke, putra Muhammad Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten. Namun Faletehan menduduki tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama, yakni hanya berlangsung selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M. Ia dimakamkan satu komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni di Astana Gunung Jati Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu.

Khatimah

DEMIKIANLAH sekilas mengenai uraian historis tentang peran Pangeran Cakrabuana, Kian Santang, dan Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.

Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir utara Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman, yang mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari Syarif Hdiayatullah.

Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada tahun 1425, dua puluh lima tahun sebelum lahir Sunan Gunung Jati dan Mualana Syarif Hidayatullah. Ia mulai menyebarkan agama Islam di Godog, Garut pada tahun 1445. Ia adalah penyebar Islam pertama di pedalaman tatar Sunda. Ia merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Ia disebutkan berasal dari wilayah Cirebon, tepatnya dari Kerajaan Sindangkasih (Majalengka).

Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah nama tokoh yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.



Rabu, 15 April 2020



SEJARAH AHLUL BAIT RASULULLAH

MANAQIB AL-HABIB ALI BIN SYEKH ABU BAKAR BIN SALIM PALEMBANG


AL HABIB ALI BIN SYECH ABU BAKAR BIN SALIM PALEMBANG


( PANGERAN SYARIF ALI – KESULTANAN PALEMBANG ) 

Al Habib lahir dari pasangan penuh berkah Habib Abu bakar bin Sholeh B.S.A. dan Syarifah Nur binti Ibrohim bin Yahya, sejak kecil beliau dididik langsung oleh kedua orangtuanya dengan pendidikan agama yang terbaik. Ayah beliau, Habib Abu Bakar, yang lahir di kota 'Inat Hadromaut adalah cucu se orang Wali Besar yaitu Habib ‘Ali bin Ahmad B.S.A., salah satu murid Al Imam Al Quthub Al Habib ‘Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al Haddad Shohiburrothib.

Tradisi tarbiyah (pendidikan) keilmuan yang diterima Habib ‘Ali bin Ahmad dari gurunya ini dan guru-gurunya yang lain, serta dari generasi habaib sebelumnya, beliau pegang teguh dan diteruskannya kepada para muridnya, keluarganya, anak-cucunya, dan begitu seterusnya. Demikianlah, hingga sampailah kepada salah seorang cucunya yang bernama Abu Bakar, yang kemudian meneruskan tarbiyah itu kepada putranya yang bernama ‘Ali, yang di kemudian hari dikenal sebagai Pangeran Syarif ‘Ali.

Pangeran Syarif ‘Ali atau Habib ‘Ali bin Abu Bakar bin Sholeh bin ‘Ali bin ‘Ahmad Bin Syech Abu Bakar bin Salim Asseggaf, lahir di kota Palembang, pada tahun 1208 H/1790 M, atau lebih kurang sekitar 220 tahun yang lalu. Pada masa itu, Kesultanan Palembang Darussalam dipimpin seorang sultan yang sholeh, yaitu Sultan Muhammad Bahauddin, putra sultan terdahulu, Ahmad Najamuddin I.

Gelar Pangeran yang disandang beliau adalah karena kedekatan dirinya dengan keluarga besar Kesultanan Palembang Darussalam, baik secara nasab, pertalian pernikahan, maupun kedudukannya sendiri di dalam lingkungan pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam. Nenekn beliau dari sebelah ibu adalah cucu Sultan Mahmud Badaruddin Sedangkan salah seorang istrinya, yang bernama Laila atau bergelar Ratu Maliya adalah putri Sultan Husein Dhiauddin.
Ibundanya yaitu Syarifah Nur binti Ibrahim Bin Yahya, adalah seorang wanita sholehah putri seorang Al Allamah Habib Ibrohim bin Zein bin Yahya,beliau adalah Ahli Tasawwuf. Pangeran Syarif ‘Ali mendapatkan banyak pelajaran dari ibunya sendiri di samping tambahan pelajaran lainnya dari para paman beliau, seperti Habib ‘Abdullah bin Ibrohim dan Habib Syech bin Ibrohim, serta dari banyak ‘ulama lainnya pada masa itu.

Diriwayatkan, beliau memiliki koleksi hingga sekitar seribu kitab. Untuk ukuran saat itu, jumlah sebanyak itu tentu sangat spektakuler. Ini menunjukkan kecintaan-nya pada ilmu sekaligus keluasan ilmu beliau yang mendalam.

Masa kecil beliau, sebagaimana putra-putri keluarga ‘Alawiyyin lainnya, selalu berada dalam lingkungan pendidikan agama, baik dari orangtuanya sendiri maupun dari para guru. Disebutkan, sejak kecil kecerdasannya terlihat menonjol dan beliau memiliki banyak teman sepergaulan yang berpendidikan. Bersama orang tuanya, Pangeran Syarif ‘Ali sering mengunjungi kesultanan, hingga
beliau pun memiliki kedekatan dengan sultan kala itu.

Menginjak remaja, Pangeran Syarif ‘Ali giat melakukan pelayaran niaga, terutama ke Kalimantan dan Jawa. beliau arungi lautan yang luas dengan kapal kayu pinisi sederhana, di tengah ancaman badai besar dan gelombang laut yang kerap datang menghadang. Belum lagi ancaman kehadiran kawanan bajak laut yang sangat marak pada saat itu. Ganasnya alam telah membentuk kepribadiannya yang dikenal sebagai seorang yang gagah berani, teguh pendirian, tidak banyak bicara, dan bersikap tegas dalam menangani persoalan.
Suatu saat, Sultan Husein Dhiauddin meminta beliau menyelesaikan sebuah misi khusus kesultanan ke Pulau Kalimantan. Maka karena berhasil menyelesaikan misi tersebut itulah beliau, yang masih dalam usia relatif muda, dipercaya Sultan memegang jabatan bendahara kesultanan dan dinikahkan dengan salah satu putrinya, Raden Ayu Maliya.

Dari pernikahannya dengan putri sultan ini, beliau mendapat putra bernama Hasan, yang setelah dewasa memutuskan untuk hijrah ke negeri lain. Berbekal sejumlah uang dan wasiat pemberian ayah beliau, berangkatlah Habib Hasan bin Pangeran Syarif ‘Ali dengan kapal ayahbeliau berlayar ke arah timur. Namun tidak sampai ke tujuan, karena kapalnya karam di Selat Bangka atau Belitung dan dia selamat mendarat di suatu kampung nelayan.

Dari buku Sejarah Daerah Sumatera Selatan (Depdikbud, 1991-1992), disebutkan, masjid yang pertama ada di Pulau Belitung didirikan oleh Sayyid Hasan bin Syech Abu Bakar. Belum diketahui, apakah nama ini ada hubungannya dengan putra Pangeran Syarif ‘Ali yang juga bernama Hasan.
Pangeran Syarif ‘Ali, dalam usia yang relatif muda, telah dipercaya memegang jabatan bendahara kesultanan. Namun beliau hadir di lingkungan istana pada masa-masa pahit yang dialami keluarga sultan.

Dalam suasana kebencian kepada Belanda setelah kesultanan dilumpuhkan dan kemudian dihapuskan, terjadilah keresahan di tengah-tengah rakyat.
Mengantisipasi hal ini, sejalan pula dengan politik kolonial, setelah meneliti beberapa pilihan pribadi, di antaranya yang dinilai paling berpengaruh di kalangan keluarga kesultanan dan di kalangan masyarakat umum, Belanda mengangkat Pangeran Syarif ‘Ali sebagai Pegawai Tinggi Pembantu Residen untuk menjalin hubungan dengan semua golongan masyarakat.

Pangeran Syarif ‘Ali merasakan hal ini sebagai sebuah dilema. Kekuatan tentara kesultanan telah dilumpuhkan. Dapat ditebak, bila beliau menolak, hukuman seperti yang diterima ayah mertuanya juga akan ia dapat. Bila diterima, beliau hanya menjadi alat musuh, yang waktu itu sangat memerlukannya.

Mempertimbangkan banyak hal, sosok yang selalu tak lepas dari sorban dan jubah itu akhimya memutuskan untuk menerima jabatan tersebut, dengan catatan, ia tak berkenan duduk di meja kerjanya di kantor Residen. Dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari, beliau pun ingin dibantu oleh putra beliau Abu Bakar, atau dikenal dengan Pangeran Bakri.
Meski tampaknya tidak menyukai kehadiran Pangeran Syarif ‘Ali, yang selalu mengenakan pakaian ke’ulamaannya, Residen Belanda saat itu memerlukan pengaruhnya. Maka, persyaratan itu pun dapat diterimanya. L.W.C. van den Berg menyebutkan, Belanda telah menggunakan pengaruhnya dan pengaruh putranya selama hampir setengah abad. Sebaliknya, Pangeran Syarif ‘Ali sebenarnya tak sudi berhubungan dengan mereka. Karenanya, uang gajinya, yang tergolong amat besar pada saat itu, selama ber-puluh-puluh tahun lamanya, tak satu sen pun beliau ambil.

Pangeran Syarif ‘Ali wafat pada 27 Muharram 1295 H/1877 M dalam usia 87 tahun di kota Palembang. Jenazah beliau dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga, yaitu di Gubah 3 ilir Palembang.

Kedudukannya dalam hal keilmuan digantikan oleh putra beliau, Habib Muhammad Mahmud. Sedangkan dalam hal aktivitas beliau di kesultanan, digantikan oleh putra beliau, Habib Abu Bakar, atau dikenal dengan Pangeran Bakri.

Minggu, 22 September 2019

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللّٰهِ وَرَحْمَةُ اللّٰهِ وَبَرَكَاتُهُ

Muqaddimah

Tentang Pentingnya Ilmu Nasab Dan Memeliharanya Pada Masa Era Globalisasi

Segala Puji Bagi Allah Yang Maha Esa, Maha Agung Lagi Maha Segala-Nya. Atas Segala Limpahan Rahmat Beserta Karunia-Nya Yang Tidak Terhingga, Kasih Sayang-Nya Yang Abadi, Pintu Maaf-Nya Yang Tidak Pernah Terkunci Bagi Setiap Hamba-Nya Yang Berserah Diri Keharibaan Ilahi Rabbi, Tuhan Semesta Alam Yang Maha Luhur Nan Suci.

Shalawat Serta Salam Kami Haturkan Kepada Junjungan Kami, Rasul Penghulu Alam, Nabi Agung, Manusia Pilihan Sayyidina Wa Maulana Muhammad SAW, Dan Bagi Para Keluarganya Yang Suci Lagi Mulia, Para Imam Pemimpin Umat Yang Menjadi Pewaris Nabi Muhammad SAW, Serta Kepada Para Sahabat Pilihan Dan Juga Para Pengikutnya Yang Senantiasa Yang Memegang Teguh Al-Qur'an Dan As-Sunnah Baik Dari Generasi Awal Hingga Di Akhir Zaman.

Ilmu Nasab Atau Ilmu Silsilah Adalah Ilmu Yang Membahas Garis Keturunan / Susunan Jalur / Asal Muasal Seseorang Baik Keturunan Bangsawan, Raja / Ratu / Sultan / Pangeran, Raden Maupun Keturunan Dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

"Bagi Mereka Yang Telah Dikaruniakan Oleh Allah SWT, Nasab Dan Keturunan Yang Mulia Hendaklah Menjaga Dan Memeliharanya Sebagaimana Yang Telah Dilakukan Oleh Para Wali Dimasa Hidupnya 

Selasa, 17 September 2019

Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong

Karangbong - Pajarakan - Probolinggo - Jawa Timur - Indonesia

Manaqib Sayyidi Syaikhona KH. Muhammad Hasan Genggong

Profil KH.Muhammad Hasan Bin Syamsuddin Bin Qoiduddin Al-Adzmatul Khan Al-Jawi
Nama Lengkap         : KH.Muhammad Hasan Al-Jawi
Nama Masa Kecil      : Non Ahsan Bin Syamsuddin
Nama Akrab Panggilan : Kyai Hasan Sepuh Genggong
Tempat,Tanggal Lahir : Probolinggo,27 Rajab 1259 H
Tempat,Tanggal Wafat : Probolinggo,11 Syawal 1374 H
Alamat Asal         : Desa Sentong Kecamatan Krejengan Kabupatrn Probolinggo
Alamat Tinggal       : Desa Karangbong Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo

Kabupaten Probolinggo Tampaknya Memiliki Cendikiawan Muslim Sejak Puluhan Tahun Lamanya. Berdirinya Beberapa Pondok Pesantren Sebagai Pusat Kajian Keagamaan Merupakan Manifestasi Penyebaran & Dakwah Ajaran Islam Oleh Para Cendikiawan Muslim Tersebut. Hal Ini Adalah Sebagai Tindak Lanjut Dari Tradisi Sebelumnya Yang Diajarkan & Disebar Luaskan Juga Dipopulerkan Oleh Para Dewan Wali Songo Seperti ;
1. Syeikh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik),
2. Syeikh Maulana Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel),
3. Syeikh Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang),
4. Syeikh Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri),
5. Syeikh Maulana Syahid Abdurrahman (Sunan Kalijaga)
6. Syeikh Maulana Abdul Hasyim / Qasim (Sunan Drajat)
7. Syeikh Maulana Jakfar Shadiq (Sunan Kudus),
8. Syeikh Maulana Umar Syahid (Sunan Muria),
9. Syeikh Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan G.Jati).

Tidak Heran Apabila Di Wilayah Kabupaten Probolinggo Termasuk Salah Satu Wilayah Yang Populer Dengan Adanya Kontribusi Daripada Para Cendikiawan Muslim. Salah Satunya Adalah Al-Arifbillah Al-Qutub Arrabbani Asshamadani Hadratus Syeikh KH.Muhammad Hasan Bin Syamsuddin Bin Qoiduddin Al-Adzmatul Khan Al-Jawi Genggong. Seorang Ulama' Yang Termasyhur Sederhana, Alim Allamah,Cerdas,Ramah Tamah,Suka Menolong, Tawadhu',Budi Pekerti (Akhlaq Yang Luhur),Muballigh, Tokoh Agama Dan Juga Tokoh Pengarang Kitab Nadzham "Safinatun Najah" & Beberapa Kitab-Kitab Yang Lainnya Guna Untuk Pembelajaran Bagi Masyarakat Dalam Memperdalam Ilmu Agama Islam Pada Saat Itu. Beliau Lahir Di Probolinggo 27 Rajab 1259 H / 1840 M. Nama Asli Beliau Adalah KH.Muhammad Hasan,Namun Dikalangan Masyarakat Umum Akrab Memanggilnya Dengan Sebutan Kyai Hasan Sahaja. Panggilan Kyai Hasan Tersebut Sangatlah Populer Sampai Masyarakat Nyaris Tidak Mengetahui Nama Lengkapnya. Namun Sewaktu Beliau Masih Kecil Biasa Akrab Dipanggil Non Ahsan, Nama Hasan Dan Ahsan Tersebut Sudah Akrab Dipanggil Dari Masa Kecilnya. Tapi Di Masa Tuanya Beliau Akrab Dengan Sebutan Kyai Hasan Sepuh Genggong,Dan Dikalangan Para Ulama' Dan Para Kyai (Masyayikh) Beliau Mendapatkan Julukan Dan Sebutan Syeikh.Namun Yang Lebih Terkenal Beliau Akrab Dengan Panggilan Kyai Hasan Sepuh Genggong Oleh Kalangan Banyak Masyarakat,Sehingga Sebutan Kyai Hasan Sepuh Genggong Terus Digunakan Sampai Sekarang,Untuk Menceritakan Masa Hidupnya (Manaqib Beliau). Nama Kyai Muhammad Hasan Dicantumkan Lengkap Pada Kitab Karangannya Yang Dicetak Saat Ini,Dan Tidak Menggunakan Nama Panggilan Ataupun Sebutan Lagi.

KH.Muhammad Hasan Lahir Dari Seorang Pasangan Yang Sangat Sederhana,Terhormat Dan Mulia Yaitu Ayahandanya Yang Bernama Hadratus Syeikh KH.Syamsuddin (Kyai Miri) Dan Dari Seorang Ibundanya Yang Bernama Hadratus Syeikhah Nyai Hajjah Khadijah (Nyai Miri). Mata Pencaharian KH.Syamsuddin (Kyai Miri) Adalah Mencetak Genting Dimana Hasilnya Untuk Keperluan Keluarga Dan Sebagian Untuk Keperluan Sosial. Sebelum KH.Muhammad Hasan Ada Dalam Kandungan Ayah Beliau KH.Syamsuddin Bermimpi Bahwa Istrinya Yaitu Nyai Hajjah Khadijah Sedang Merenggut Bulan Purnama Dan Kemudian Melahap Sampai Habis Bulan Tersebut,Beberapa Hari Kemudian Nyai Hajjah Khadijah Hamil Dan Sembilan Bulan Kemudian Melahirkan Seorang Anak Laki-Laki Yang Mereka Diberikan Nama Muhammad Hasan Atau Yang Biasa Dipanggil Ahsan Bin Syamsuddin.
KH.Muhammad Hasan Ditinggalkan Oleh Ayahandanya Pada Waktu Beliau Masih Kecil Sehingga Sang Ibundanya Yang Harus Berjuang,Mendidik Dan Menggembleng Beliau.

Pada Masa Kecil Dan Remajanya,Syeikh Hasan Menempuh Beberapa Pendidikan Diantaranya Adalah Ketika Waktu Masih Kecil Beliau Berada Di Pondok Pesantren Sentong Dibawah Asuhan Ayahandanya Tercinta KH.Syamsuddin. Beliau Belajar Dari Kecil Sampai Berumur 14 Tahun. Hubungan Dengan Keluarga Juga Baru Dimulai Diumur 14 Tahun. Kemudian Beliau Melanjutkan Pendidikannya Di Pondok Pesantren Sukonsari Pojontrek Pasuruan Dibawah Asuhan KH.Muhammad Tamim. Tidak Cukup Lama Dalam Pesantren Sukonsari,Kemudian Beliau Menngabdikan Dirinya Di Pondok Pesantren Bangkalan,Dibawah Bimbingan Hadratus Syaikhona KH.Muhammad Kholil. Di Pesantren Itulah Beliau Menggembleng Dirinya Serta Memperdalam Semua Ilmu Agama Selama 32 Tahun.

Selasa, 03 September 2019

Sejarah Para Ulama' Nusantara Indonesia

Manaqib Sirah Syeikh Maulana Abdul Samad Al-Falimbani
"( Tuan Datuk Sanggul )" 
Palembang - Kalimantan Selatan - Indonesia

Seorang Ulama' Besar Di Bumi Nusantara Indonesia
Serta Pejuang Di Tanah Melayu Pattani Pauk Boh Thailand

Beliau Lahir Di Palembang Pada Tahun 1704 M / 1116 H, Masyarakat Palembang Juga Banyak Keturunan Dari Syeikh Abdul Samad Al-Falimbani. Beliau Banyak Bersahabat Dengan Beberapa Ulama' Besar Pada Masanya, Diantaranya Ialah ;
1. Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari ( Datuk Kalampayan )
2. Syeikh Abdul Wahab Bugis ( Menantu Datuk Kalampayan )
3. Syeikh Abdurrahman Al-Masri (Kakek Habib Utsman Betawi),
4. Syeikh Tuan Muhammad Daud Al-Fatani ( Ulama' Melayu ).

Syeikh Abdul Samad Al-Falimbani, Seorang Ulama Besar Sufi, Seorang Ulama' Ahli Strategi Dalam Bidang Perang, Dan Juga Ulama' Ahli Fiqih, Ushul Fiqih, Ahli Hadits, Dan Beliau Juga Seorang Syuhada' Karena Pada Masa Itu, Beliau Membela Dan Andil Ikut Perang Melawan Kerajaan Siam Buddha Yang Ingin Merebut Wilayah Kekuasaan Bumi Melayu Pattani Kampung Pauk Boh Yang Sekarang Menjadi Bagian Negara Thailand.

Syeikh Abdul Samad Al-Falimbani, Mati Syahid ( Wafat ) Dalam Berjuang Bersama Para Tentara Melayu Kedah Malaysia Yang Melawan Kerajaan Siam Buddha Thailand. Menurut Masyarakat Palembang, Makam Beliau Ada Di Kawasan Tengah Hutan Daerah Palembang Kalimantan Selatan. 

Beliau Salah Satu Keturunan Daripada Ulama' Asal Arab Yaman Selatan. Karena Ayah Beliau Bernama Syeikh Sayyid Abdurrahman Bin Abdul Jalal Bin Abdul Wahab Bin Al-Imam Al-Qutub Syeikh Sayyid Ahmad Al-Mahdani Al-Yamani. Dan Juga Beliau Keturunan Melayu Karena Ibu Beliau Yang Bernama Sayyidah Dewi Zainab Adalah Putri Dari Kesultanan Kedah Yaitu Datuk Sri Maharaja Dewa Malaysia.

Menurut Sumber Lain, Ibu Dari Syeikh Abdul Samad Al-Falimbani Adalah Seorang Putri Kesultanan Palembang Yang Bernama Raden Ajeng Ranti. Jika Jika Dilihat Dari Garis Keturunan Ibu, Syeikh Abdul Samad Keturunan Dari Palembang Yang Dinisbatkan  Pada Namanya Yaitu " Al-Falimbani ". Seperti Para Ulama' Pada Masanya, Syeikh Abdul Samad Banyak Melakukan Pengembaraan Menuntut Ilmu. Baik Di Nusantata Maupun Di Negara Tetangga, Seperti Malaysia, Thailand, Dan  Arab Kawasan Timur Tengah ( Mekkah, Madinah, Yaman, Dan Juga Mesir ) Daerah Tanah Maghrib ( Maroko ).

Menuntut Ilmu Di Pattani

Guru Pertama Beliau Ialah Ayahnya Sendiri Yaitu Syeikh Sayyid Abdurrahman Bin Abdul Jalal Al-Mahdani Al-Yamani. Selanjutnya Beliau Pergi Menuntut Ilmu Ke Negeri Bumi Melayu Yaitu Pondok Pesantren Pattani Yang Diasuh Oleh Syeikh Sayyid Tuan Abdurrahman Bin Syeikh Sayyid Tuan Abdul Mubin Pauk Boh Al-Fatani Thailand. Pada Masa Itu Pattani Adalah Salah Satu Tempat Untuk Menimba Ilmu Ke Islaman Pertama Kali Didirikan Oleh Syeikh Sayyid Tuan Abdul Mubin Al-Fatani Di Bumi Melayu Kampung Pauk Boh Pattani Thailand, Dengan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren. Kala Itu Pondok Pesantren Pattani Adalah Pesantren Yang Pertama Dan Tertua. Beliau Sejak Menimba Ilmu Di Berbagai Pesantren  Yang Ternama Sejak Itu Bersama Dengan Saudaranya Syeikh Abdul Qadir Al-Falimbani, Dan Syeikh Abdullah Al-Falimbani. Seperti Pondok Pesantren Pattani, Pondok Pesantren Bendang Gucil Di Kerisik, Dan Pondok Pesantren Sumala ( Kuala Bekah ) Aceh.

Diantara Para Gurunya Yang Di Pattani Ialah Syeikh Sayyid Tuan Abdurrahman & Syeikh Sayyid Tuan Abdullah Putra Dari Seorang Ulama' Besar Tersohor Di Bumi Melayu Pattani Yaitu Al-Alimul Allamah Syeikh Sayyid Tuan Abdul Mubin Al-Fatani. Dikota Suci Madinah Beliau Belajar Tasawwuf Kepada Seorang Ulama' Besar Sufi Termasyhur Yaitu Al-Alimul Allamah Al-Imam Al-Arifbillahi Al-Quthub Al-Aqthab Al-Ghauts Syeikh Syarif Muhammad Samman Al-Madani Al-Hasani RA. Dan Juga Mempelajari Ilmu Tasawwuf Kepada Al-Alimul Allamah Al-Arifbillahi Al-Imam Syeikh Sayyid Abdurrauf Al-Fansuri As-Saingkili Kuala Aceh. Juga Belajar Tasawwuf Kepada Al-Alimul Allamah Al-Arifbillahi Al-Imam Syeikh Sayyid Syamsuddin As-Sumatrani Aceh.

Dari Pattani, Syeikh Abdul Samad Al-Falimbani Belajar Ke Kota Suci Mekkah Dan Madinah. Disitulah Beliau Banyak Bersahabat Dengan Para Ulama' Dari Nusantara Seperti ;
1. Syeikh Muhammad Irsyad Al-Banjari ( Datuk Kalampayan )
2. Syeikh Abdul Wahab Bugis ( Menantu Datuk Kalampayan )
3. Syeikh Sayyid Abdurrahman Al-Batawi ( Mufti Betawi )
4. Syeikh Sayyid Tuan Muhammad Daud Al-Fatani.

Walaupun Menetap Di Kota Suci Mekkah, Beliau Masih Tetap Memberikan Perhatian Dan Pengaruh Besar Pada Perkembangan Sosial, Politik & Keagamaan Di Nusantara.

Belajar Dan Tabarukan Di Tanah Suci Haramain

Di Kota Suci Mekkah Dan Madinah Beliau Banyak Belajar Kepada Beberapa Ulama' Besar Ternama Diantaranya Ialah ;

1. Al-Alimul Allamah Al-Arifbillahi Al-Imam Al-Quthub Al-Ghauts Syeikh Syarif Muhammad Samman Bin Abdul Karim Al-Hasani,

2. Al-Alimul Allamah Al-Arifbillahi Al-Imam Al-Kabir Al-Masyhur Syeikh Sayyid Muhammad Bin Sulaiman Al-Kurdi Al-Haramain,

3. Al-Alimul Allamah Al-Arifbillahi Al-Imam Al-Kabir Al-Masyhur Syeikh Sayyid Abdullah Mu'in Al-Damanhuri Al-Haramain,

4. Al-Alimul Allamah Al-Arifbillahi Al-Imam Al-Kabir Al-Masyhur Syeikh Sayyid Muhammad Ibrahim Al-Raisi Al-Haramain,

5. Al-Alimul Allamah Al-Arifbillahi Al-Imam Al-Kabir Al-Masyhur Syeikh Sayyid Muhammad Al-Mauraddi Al-Haramain,

6. Al-Alimul Allamah Al-Arifbillahi Al-Imam Al-Kabir Al-Masyhur Syeikh Sayyid Muhammad Al-Jauhari Al-Haramain,

7. Al-Alimul Allamah Al-Arifbillahi Al-Imam Al-Kabir Al-Masyhur Syeikh Sayyid Al-Habib Atha'ullah Al-Mashri Al-Husaini.

Ulama' Sufi

Meskipun Mendalami Tasawwuf, Beliau Masih Dikenal Kritis. Dia Sering Berdebat Diantara Para Kalangan Yang Mempraktekkan Tarekat Secara Berlebih2an. Beliau Selalu Mengingatkan Akan Bahaya Kesesatan Yang Diakibatkan Oleh Aliran2 Tarekat Tersebut. Wabil Khusus Tarekat Yang Mengatasnamakan Aliran Tarekat "Wujudiyyah Mulhid" Yang Terbukti Telah Membawa Banyak Kesesatan Di Aceh.

Untuk Mencegah Apa Yang Diperingatkannya Itu, 

Kamis, 29 Agustus 2019

Sejarah Berdirinya TPQ - Madin Bairoh
Watu Urip-Pringgowirawan-Sumberbaru-Jember

Berbicara Tentang Berdirinya TPQ - Madin Bairoh, Tentunya Tidak Akan Lepas Dari Seorang Pemuda Asal Dari Probolinggo Yang Bernama "Al-Faqir Muhammad Dyan Al-Jawi", Yang Juga Didukung Oleh Seluruh Jajaran Pengurus Takmir Masjid Jami' Baitur Rohman Batu Urip, Dan Juga Dibantu Oleh Peranan Salah Satu Pengurus Yaitu Bpk Anang Suhartono. TPQ Bairoh Lahir Karena Adanya Permintaan Dan Dukungan Dari Salah Satu Pengurus Takmir Masjid Jami' Baitur Rohman Yakni Bapak Anang Suhartono, SH. & Juga Direstui Oleh Ketua Umum Takmir Masjid Yaitu Al-Mukarram KH. Abdullah Yusuf Bachtiar ( Pendiri & Pengasuh Ponpes Miftahul Ikhlas Batu Urip ).

Pada Awalnya Pemuda Itu Dimintai Oleh Salah Satu Pengurus Masjid Jami' Baitur Rohman, Untuk Mengajar Pada Kalangan Tingkat Orang Dewasa Yang Masih Belum Memahami Tentang Mengaji Al-Qur'an Di Masjid Jami' Baitur Rahman, Tapi Waktu Demi Waktu Hal Itu Belum Ada Kepastian Dari Pemuda Tersebut. Tak Lama Kemudian, Pada Waktu Itu Ada Rapat Pembentukan Imam Dan Bilal ( Mu'addzin ) Masjid Jami' Baitur Rahman, Pemuda Itu Diberikan Waktu Dan Kesenjangannya Untuk Menghadiri Rapat ( Musyawarah ) Pembentukan Imam, Bilal ( Muaddzin ), Yang Bertempat Di Kediaman Sekretaris Takmir Yaitu H. Noor Dhani Herlambang, Ditengah-Tengah Rapat Dalam Membahas Musyawarah Tersebut, Pemuda Itu Di Tunjuk Oleh Salah Satu Pengurus Untuk Dijadikan Salah Satu Muaddzin Shalat Maktubah Dan Juga ( Bilal ) Jum'at Tepatnya Hari Jum'at Legi Dan Imam Shalatnya Waktu Itu Ialah Al-Mukarram KH. Lutfi Saifur Ridzal Seorang Tokoh Agama Di Lingkungannya. Setelah Itu Pemuda Yang Bernama Al-Faqir Muhammad Dyan Al-Jawi, Itu Ditunjuk Lagi Untuk Membidangi Dalam Hal Pendidikan Tingkat Anak-Anak ( Taman Pendidikan Al-Qur'an ), Tetapi Waktu Itu Masih Belum Ada Satu Pun Anak-Anak ( Santri ) Yang Mau Mengaji Di Tempat Itu. Setelah Mendapatkan Mandat ( Amanah ) Dari Ketua Takmir Masjid Jami' Baitur Rohman, Kemudian Pemuda Itu Menyanggupinya. Jadinya Mulai Ada Amanah Tersebut, Pemuda Itu, Berniatan Karena Allah Mencari Ridho Allah, Untuk Berjuang, Mengabdi, Menebar Dan Mengamalkan Ilmu Walaupun Hanya Satu Kalimat. Ia Rela Berkorban Dengan Semaksimal Mungkin Untuk Mencari Para Anak-Anak ( Santri ) Untuk Mau Mengaji Dan Belajar Di Masjid Jami' Baitur Rahman, Yang Juga Dibantu Oleh Bpk Anang Suhartono, SH. Hari Demi Hari Ia Hanya Mendapatkan Santri Sebanyak 10 Orang Anak, Untuk Dibinannya. Kemudian Setelah Berjalan 1 Bulan, Santri Tersebut Ada Yang Keluar, Dan Juga Bertambah 10 Santri Jadinya Jumlah Santri Waktu Sebulah Itu Hanya 18 Anak Santri. Dengan Ketekunan Dan Kegigihan Pemuda Itu. Datanglah Salah Seorang Ustadz Yang Notabenya Imam Masjid Tersebut Untuk Berkenan Membantunya Dalam Kegiatan Belajar Mengajar Di Masjid Jami' Baitur Rahman Yakni Al-Ustadz Muchlis Hidayatullah Dari Wedusan Alumnus Ponpes Hidayatul Muta'allimin Pondok Dalem Semboro.